BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Berbicara tentang belajar dan pembelajaran adalah berbicara sesuatu yang tidak pernah berakhir sejak manusia ada dan berkembang di muka bumi sampai akhir zaman nanti. Belajar adalah suatu proses dan aktivitas yang selalu dilakukan dan dialami manusia sejak manusia masih dalam kandungan, buaian, tumbuh berkembang dari anak-anak, remaja hingga dewasa sampai ke liang lahat, sesuai dengan prinsip life long education. Sehingga diperoleh sebuah definisi bahwa Belajar adalah suatu aktivitas atau suatu proses untuk memperoleh pengetahuan, meningkatkan ketrampilan, memperbaiki perilaku, sikap dan mengokohkan kepribadian. Dalam konteks menjadi tahu dan seiring dengan proses memperoleh pengetahuan, lahir pula berbagai macam teori mengenai pokok-pokok belajar dan pembelajaran yang beberapa diantaranya akan kami bahas dalam makalah ini.
1.2.Rumusan masalah
Apa makna teori dan konsep dasar pembelajaran?
Apa hakikat universal dari belajar?
Apa peran filsafat pendidikan dalam pengembangan teori pendidikan?
1.3.Tujuan Penulisan
Memenuhi salah satu tugas mata kuliah belajar dan pembelajaran.
Memahami peran filsafat pendidikan dalam mengembangkan teori belajar.
Menambah wawasan dalam mengembangkan dunia pendidikan di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Makna Teori dan Konsep Dasar Pembelajaran
Teori adalah suatu penjelasan tentang hubungan antara dua atau lebih konsep atau variable yang berupa sekumpulan hokum, gagasan, prinsip dan teknik-teknik tentang subjek tertentu. Teori tidak bersifat kekal karena dapat diubah jika ada bukti baru yang bersifat menyangkal teori tersebut. Dalam khasnah pembelajaran, dominasi teori behaviorisme demikian kutnya, bahkan berlangsung puluhan tahun. Namun dengan sejumlah bukti yang berpangkal dari suatu paradigm baru dan keabsahannya tidak bisa disangkal pada saat itu, dan pada perkembangannya teori behaviorisme digantikan oleh teori kognitivisme.
Dalam konsep pembelajaran, Bruner membedakan antara teori pembelajaran (instructional theory) dan teori belajar (learning theory). Dalam hal ini pembelajaran semakna dengan pengajaran. Menurut Bruner (Degeng,1989) teori pembelajaran adalah preskriptif sedangkan teori belajar adalah deskriptif. Dikatakan preskriptif karena tujuan utama teori pembelajaran adalah menetapkan metode pembelajaran yang optimal, sedangkan dikatakan deskriptif karena tujuan utama teori belajar adalah menjelaskan proses belajar.
Teori pembelajaran menaruh perhatian pada bagaimana seseorang (guru) mempengaruhi orang lain agar terjadi proses belajar. Teori ini berurusan dengan upaya mengontrol variable-variabel Yang dispesifikasi dalam teori belajar agar memudahkan belajar itu sendiri (Budiningsih,2005:11). Teori belajar menaruh perhatian pada hubungan diantara variable yang menentukan hasil belajar, teori ini menekankan kepada bagaimana seharusnya seseorang itu belajar. Reigeluth (Degeng,1989) mengembangkan teori Bruner ini dengan menyatakan bahwa sifat preskriptif dan deskriptif ini dimiliki baik oleh teori pembelajaran maupun teori belajar bergantung kepada tujuan atau proposisi yang digunakan.
2.2. Hakikat Universal dari Belajar
Seperti yang kita ketahui, dewasa ini terjadi perkembangan yang amat tepat dalam berbagai aspek kehidupan yang berdampak kepada pendidikan dan pembelajaran. Dalam kaitan ini UNESCO dengan laporannya yang berjudul Learning: The Treasure Within (1996) menyampaikan adanya sejumlah tantangan controversial yang harus dihadapi dengan cara menyeimbangkan berbagai tekanan (tension) yaitu tekanan antara tuntutan: global dengan local, universal dengan individual, pertimbangan jangka panjang dan jangka pendek, tradisional dengan modern, antara tuntutan spiritual dan kebutuhan material, dsb.
Tantangan yang bersifat universal ini juga harus dihadapi secara universal pula. Dalam dunia pembelajaran, untuk menghadapi dan beradaptasi dengan berbagai tantangan itu, UNESCO memberikan resep berupa apa yang disebut empat pilar belajar (four pillars of education or learning), yaitu:
2.2.1. Learning to know
Belajar untuk mengetahui berkaitan dengan perolehan, penguasaan dan pemanfaatan pengetahuan. Belajar untuk mengetahui ini oleh UNESCO dipahami sebagai cara dan tujuan dari eksistensi manusia. Hal ini sesuai dengan penegasan Jacques Delors (1966) yang menyatakan adanya dua manfaat pengetahuan yaitu pengetahuan sebagai cara (means) dan pengetahuan sebagai hasil atau tujuan (end). Sebagai cara hidup, terkait keniscayaan bahwa manusia memang wajib memahami dunia disekelilingnya. Dari segi tujuan, belajar untuk mengetahui bertujuan untuk memberikan kepuasan karena perolehan pemahaman, pengetahuan dan kepuasan melalui penemuan-penemuan secara mandiri. Belajar untuk mengetahui berimplikasi terhadap diakomodasikannya konsep belajar tentang bagaimana belajar (learning how lo learn), dengan mengembangkan seluruh potensi konsentrasi pembelajar, ketrampilan mengingat dan kecakapan untuk berpikir. Proses untuk memperbaiki ketrampiln berkonsentrasi ini dapat bermanifestasi dengan berbagai cara dan dapat dibantu oleh berbagai kesempatan belajar yang berbeda-beda yang muncul di sepanjang kehidupannya.
2.2.2. Learning to Do
Konsep Learning to do ini berkaitan dengan dua hal: pertama, berkaitan dengan ekonomi industri, dimana para pekerja memperoleh upah atas pekerjaannya. Kedua, yaitu suatu usaha yang kita kenal sebagai wirausaha, para lulusan sekolah menyiapkan jenis pekerjaannya sendiri dan menggaji dirinya sendiri (self employment) dalam semangat entrepreneurship. Jadi menurut UNESCO belajar jenis ini berkaitan dengan pendidkan Vokasional. Pada perkembangannya, dunia usaha/ industry menuntut agar setelah lulus para siswa pembelajar siap memasuki lapangan kerja, sehingga seharusnya ada Link and Match antara sekolah dengan dunia usaha. Maknanya sekolah wajib menyiapkan berbagai ketrampilan dasar yang diperlukan untuk siap bekerja.
2.2.3. Learning to Live Together
Belajar untuk hidup bersama mengisyaratkan keniscayaan interaksi berbagai kelompok dan golongan dalam kehidupan global yang dirasakan semakin menyempit akibat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi. Komunikasi antar manusia di berbagai belahan dunia kini sudah dalam hitungan detik. Agar dapat berinteraksi, berkomunikasi saling berbagi, bekerja sama dan hidup bersama, dan saling menghargai dalam kesetaraan. Sejak kecil anak-anak harus sudah dilatih, dibiasakan hidup berdampingan bersama. Anak-anak harus banyak belajar dari hidup bersama secara damai, apalagi di alam Indonesia yang multicultural dan multietnik sehingga mereka biasa bersosialisasi sejak awal (being sociable).
2.2.4. Learning to Be
Belajar untuk mencapai manusia yang utuh, mengharuskan tujuan belajar dirancang dan diimplementasikan sedemikian rupa, sehingga pembelajar menjadi manusia yang utuh, paripurna. Manusia yang utuh adalah manusia yang seluruh aspek kepribadiannya berkembang secara optimal dan seimbang, baik aspek ketaqwaan terhadap Tuhan, intelektual, emosi, fisik maupun moral. Seimbang dalam kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial dan kecerdasan spiritualnya. Untuk mencapai hal tersebut diperlukan individu-individu yang banyak belajar dalam mengembangkan seluruh aspek kepribadiannya. Dalam kaitan itu mreka harus berusaha banyak meraih keunggulan (being excellence). Keunggulan diperkuat dan ditunjang oleh moral yang kuat (being morality). Dan moral yang kuat wajib ditunjang dengan keimanan.
2.3. Implementasi Empat Pilar Pendidikan di Indonesia
Implementasi keempat pilar pendidikan seperti yang dicanangkan UNESCO ini dapat dilihat dalam konsideran yang melandasi Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standart Nasional Pendidikan. Dalam kaitan ini, reformasi pendidikan yang melahirkan visi pendidikan nasional Indonesia harus mencakup hal-hal sebagai berikut:
Pertama, penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, didalam proses tersebut harus ada pendidik yang memberikan keteladanan dan mampu membangun kemauan serta mengembangkan potensi dan kreativitas peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses pendidikan, dari pengajaran ke pembelajaran.
Kedua, adanya perubahan pandangan tentang peran manusia dari paradigma manusia sebagai sumberdaya pembangunan dari paradigma manusia sebagai subjek pembangunan secara utuh. Proses pendidikan harus mencakup : a) penumbuh kembangan keimanan dan ketaqwaan. b)pengembangan wawasan kebangsaan, kenegaraan, demokrasi dan kepribadian. c)penguasaan pengetahuan dan teknologi. d)pengembangan, penghayatan, apresiasi dan ekspresi seni. e)pembentukan manusia yang sehat jaasmani dan rohani.
Ketiga, adanya pandangan terhadap keberadaan peserta didik yang terintegrasi dengan lingkungan sosio-kulturalnya dan pada gilirannya akan menumbuhkan individu sebagai pribadi dan anggota masyarakat mandiri yang berbudaya.
Dalam menyusun konsideran Peraturan Pemerintah tersebut, maka terlihat jelas arah pendidikan dan pembelajaran di Indonesia serta konsep pendidikan dan pembelajaran apa yang sedang diminati di Indonesia.
2.4. Peran Filsafat Pendidikan dalam Pengembangan Teori Belajar
Agar memperoleh pijakan berpikir, tentunya cukup strategis jika sebelum mengenal berbagai teori belajar dipahami dulu peran berbagai filsafat pendidikan dalam mengembangkan teori belajar. Filsafat pendidikan berkembang sejak keperluan akan pendidikan sendiri berkembang, kebutuhan semacam ini dirasakan menguat sejak zaman yunani kuno. Tidak heran jika berbicara filsafat pendidikan, muncul nama-nama seperti Sokrates, plato dan Aristoteles. Banyak sekali aliran-aliran tentang filsafat pendidikan yang berkembang tetapi hanya aliran behaviorisme yang secara utuh menyajikan teori belajar dan kebanyakan teori belajar yang lain muncul karena menerapkan gagasan dasar (basic ideas) dari beberapa filsafat pendidikan, misalnya teori belajar konstruktivisme berkembang sebagai implementasi gagasan dasar dari filsafat pragmatism dan rekonstruksionisme sosial, filsafat pragmatism kemudian berkembang menjadi filsafat progesivisme.
Sementara itu, George F.Keller dalam publikasinya yang berjudul introduction to the philosophy of education mengidentifikasi hubungan filsafat dengan pendidikan (Barnadib,1996:11) awal sekali dilakukan identifikasi pendekatan yang ada pada filsafat seperti spekulatif (memikirkan secara sistematis tentang segala sesuatu yang ada), preskriptif (upaya untuk menyusun standart pengukuran tingkah laku, nilai, norma dan kaidah) dan analitis karena sejumlah konsep dalam pendidikan diperlukan kejelasannya. Kemudian jika pendekatan itu diterapkan dalam pendidikan maka terbentuklah filsafat pendidikan.
Dalam konteks bagaimana pembelajaran dilakukan, secara historis filsafat pendidikan dibagi menjadi dua yaitu filsafat pendidikan yang berasumsi guru sebagai pusat pembelajaran (teacher-centered philosophies), filsafat ini dikatakan cenderung lebih otoriter dan konservatif dan menekankan pengembangan nilai-nilai dan pengetahuan yang telah hadir sejak dulu sampai sekarang.aliran pokok dari filsafat yang berpusat kepada guru yaitu esensialisme dan parenialisme. Dan yang kedua adalah filsafat pendidikan yang berasumsi siswa sebagai pusat pembelajaran (student-centered philosophies) yang lebih focus kepada kebutuhan pembelajar, kontemporer, relevan dan menyiapkan siswa untuk perubahan di masa depan. Aliran pokok dari paham ini adalah progresivisme, rekonstruksionisme sosial dan eksistensialisme. Selanjutnya secara ringkas akan kita bahas sebagai berikut:
2.4.1. Pragmatisme
Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang pertama kali dikemukakan oleh Charles Sanders Pierce dalam bukunya how to make ouridea clear (1878). Tokoh-tokoh lain dalam aliran ini adalah William James, John Dewey dan George Herbert Meat. Tetapi yang dikenal sebagai bapak Pragmatisme justru John Dewey karena publikasi-publikasinya yang luas. Pragmatisme sesungguhnya berupaya menjadi penengah antara aliran idealisme yang dikembangkan oleh Plato dengan aliran realisme yang dikembangkan oleh Aristoteles. Dalam menengahi Pragmatisme berpandangan bahwa hendakny keputusan yang diambil didasari oleh pertimbangan etis, artinya perlu dinilai dari segi baik buruknya (Poedjiadi, 2005:74). Sehubungan dengan pemikiran ini Pragmatisme disebut juga dengan eksperientalisme dan pada akhir abad ke 20 timbul semacam aliran filsafat baru yang disebut Neoeksperientalisme dengan slogan Power of Experience (POE) oleh Tom Russell. POE ini diambil dari prinsip pembelajaran sains berbasis pengalaman pembelajar yang meliputi langkah-langkah Predict-observe-expain.
Predict, memulai pelajaran dengan menghadapkan para pembelajar dengan seperangkat alat dan bahan percobaan kemudian guru menjelaskan apa saja yang harus dilakukan siswa terkait peralatan tersebut. Siswa membuat prediksi kemudian membuat sejumlah penjelasan awal (eksplanasi) dan dilanjutkan dengan mengumpulkan dan mendaftar sejumlah eksplanasi. Observe, dilakukan demonstrasi atau percobaan kemudian diamati. Dari sini dapat diketahui prediksi eksplanasi yang benar atau yang salah. Explain, kelas sebagai kelompok mencoba melakukan dekonstruksi hasil demonstrasi dan menjelaskan mengapa hal yang yang didemonstrasikan tersebut terjadi.
Gagasan pokok filsafat pembelajaran ini adalah minimalisasi peran dari seorang guru dan memberikan banyak keleluasaan kepada siswa untuk membuat penemuan.
2.4.2. Progresivisme
Aliran progresivisme berkembang dari pragmatism, kata kunci dari aliran ini adalah progresif yang maknanya maju. Aliran progresivisme disebut juga instrumentalisme, eksperimentalisme juga environmentalisme. Aliran filsafat ini berpandangan bahwa anak didik memiliki akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan kelebihan dibanding makhluk yang lain. Dengan kelebihan ini secara kreatif dan dinamis anak didik memiliki potensi untuk memecahkan berbagai persoalan kehidupan yang dihadapinya.
2.4.3. Eksistensialisme
Filsafat ini dibangun oleh kepercayaan yang kuat terhadap kemauan bebas (free will) manusia dan kebutuhan setiap individu untuk membentuk masa depannya sendiri. Dalam eksistensialisme, para murid diharapkan mampu mengontrol dan menentukan pendidikannya sendiri, mereka didorong untuk mengetahui dan menghargai keunikan dirinya masing-masing dan bertanggung jawab penuh terhadap setiap tindakannya. Guru berpandangan bahwa setiap siswa merupakan suatu entitas dari konteks sosial. Pendidikan semacam ini menginginkan agar pengalaman pendidikan berfokus untuk menciptakan kesempatan bagi pengarahan diri (self direction) dan aktualisasi diri.
2.4.4. Perenialisme
Filsafat ini berfokus kepada adany kebenaran universal yang telah teruji bersama berlalunya waktu, dari masa ke masa. Hal ini sesuai dengan arti pokoknya, perenial yaitu hal-hal yang ada sepanjang masa. Dengan demikian tujuan pokok dari pendidikan adalah mengkaji nilai-nilai luhur kemanusiaan dan pengethuan yang abadi. Para filosof aliran ini merekomendasikan agar para siswa belajar dari banyak membaca karya-karya agung dari para pemikir dan para penulis besar spanjang perjalanan sejarah manusia. Dengan cara ini mereka akan menghargai pembelajaran. Kelas para perenialis berpusat kepada guru untuk dapat mencapai tujuan pendidikan (teacher- centered).
2.4.5. Esensialisme
Esensialisme berpandangan bahwa tujuan utama dari pendidikan adalah untuk melaksanakan pewarisan dan revitalisasi budaya secara inti, esensi, pengetahuan kepada generasi muda. Filsafat ini berfokus kepada pembelajaran tetang esensi pokok atau dasar-dasar pengetahuan akademik, ketrampilan-ketrampilan dan pengembangan karakter. Para esensialis perpandangan bahwa guru harus mengajarkan nilai-nilai moral dan kebijakan tradisional seperti tradisi menghargai penguasa (otoritas), para sesepuh, belajar untuk mengembangkan ketangguhan dan keuletan, keterikatan kepada tugas-tugas mulia, menghargai orang lain, pengetahuan-pengetahuan praktis dan intelektual yang akan membekalinya sebagai warga Negara yang baik.
2.4.6. Rekonstruksionisme
Paham ini merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran progresivisme tetapi lebih berfokus kepada peran sosial pendidikan. Keyakinan pokok paham ini adalah bahwa tujuan pokok pendidikan yaitu membangun pola-pola kebudayaan yang baru dan menghapuskan seluruh masalah-masalah sosial termasuk penyakit-penyakit sosial, sehingga paham ini lebih dikenal sebagai rekonstruksionisme sosial. Dalam dunia pendidikan, Webb, metha dan Jordan (1991:109-115) menyatakan ada enam gagasan dasar dari teori rekonstruksionisme sosial tentang pendidikan, yaitu:
a) Tujuan dari sekolah adalah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara keseluruhan, bukan semata-mata kebutuhan sosial dari individu siswa.
b) Agar kehidupan masyarakat tetap berlangsung (survive) diperlukan perubahan dan rekonstruksi.
c) Pendidikan harus memimpin pproses rekonstruksi masyarakat.
d) Sebagai lembaga fundamental dalam masyarakat modern, pendidikan dengan kurikulumnya harus merefleksikan gagasan demokratisasi dan berfokus kepada literasi kritis.
e) Sebagai pembentuk masyarakat baru, guru harus berpandangan bahwa sekolah merupakan bagian dari evolusi budaya, memandang pendidikan dalam prespektif global yang terbuka terhadap berbagai perbedaan.
f) Sekolah seharusnya menjadi model bagi penyelesaian masalah sosial dan membentuk siswa sebagai pemecah masalah sosial (social problem solvers) dan agen perubahan sosial.
2.5. Pendekatan Filsafat Pendidikan yang lain.
Disamping berbagai aliran filsafat yang dikemukakan diatas ada pendekatan lain dalam menggolongkan aliran filsafat yang terkait dengan konsep pendidikan, diantaranya:
2.5.1. Nativisme
Nativisme berasal dari kata natives atau native yang artinya terlahir atau pembawaan sejak lahir.tokohnya yang terkenal adalah Arthur Schopenhouer dari Jerman. Menurut aliran ini setiap anak sejak lahir telah memiliki sifat-sifat dasar tertentu yang disebut pembawaan yang terdiri dari pembawaan baik dan pembawaan buruk, sifat bawaan ini tidak dapat diubah oleh pengalaman,lingkungan dan pendidikan, sehingga hasik akhir dari pendidikan ditentukan oleh pembawaan itu sendiri. Aliran pendidikan ini disebut juga dengan pedagogik pesimistis, karena pesimis terhadap manfaat pendidikan.
2.5.2. Naturalisme
Naturalisme berasal dari kata natura (Latin) atau nature (Inggris) yang artinya alam atau kodrat. Pelopornya adalah Jean-Jacques Rousseau. Aliran ini berpendapat bahwa setiap anak yang baru dilahirkan mempunyai pembawaan baik dan tidak seorangpun lahir dengan pembawaan buruk. Namun, pembawaan baik itu bisa rusak karena dipengaruhi oleh lingkungan atau kebudayaan manusia itu sendiri. Pandangan naturalisme tidak memandang pentingnya pendidikan sehingga aliran ini juga disebut negativisme, karena pada dasarnya pendidikan yang baik adalah pendidikan yang memberikan kebebasan kepada anak untuk berkembang menurut kodrat alamnya yang baik itu.
2.5.3. Empirisme
Empirisme berasal dari kata empiria atau pengalaman, tokohnya adalah John Locke (Inggris). Paham empirisme bertentangan dengan paham nativisme dan berpandangan bahwa anak sejak lahir belum memiliki sifat pembawaan apapun, anak yang baru lahir bagaikan kertas putih bersih, tabula rasa. Melalui kontak dengan lingkungan anak-anak pendapat pengalaman empiric yang membentuk anak dimasa depan. Program-program pendidikan harus menciptakan pengalaman belajar yang diperlukan anak sesuai dengan tingkat perkembangannya. Dalam hal ini dipersepsikan bahwa seorang pendidik akan mampu membentuk anak-anak menjadi apa saja. Karena besarnya optimism terhadap peranan pendidikan, maka aliran ini disebut juga sebagai pedagogik optimistis.
2.5.4. Konvergensi
Pandangan ini memadukan antara pandangan nativisme dan empirisme. Tokohnya yaitu William Stern (Jerman). Aliran ini berpandangan bahwa perkembangan intelektualitas anak tidak hanya dilihat dari factor pembawaan atau lingkungan saja tetapi pepaduan antara keduanya, sinergisme antara faktor internal nature, natur /alami (faktor dasar) dan faktor eksternal nurture, nurture/ pengalaman (faktor ajar/bimbingan). Berdasarkan pandangan ini,William Stern mengambil sutu simpulan bahwa hasil pendidikan bergantung kepad pembawaan dan lingkungan, seakan akan dua garis yang bergerak menuju suatu titik pertemuan, suatu konvergensi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Setelah mempelajari berbagai filsafat pendidikan dapat disimpulkan bahawa sebenarnya tidak ada aliran filsafat pendidikan yang mutlak benar dan harus diikuti sepenuhnya, karena setiap aliran ternyata memiliki kekuatan dan kelemahannya masing-masing. Jadi,penerapan ajaran yang mengatakan bahwa kita harus pandai-pandai memilih yang baik dan membuang yang buruk tetap relevan.
DAFTAR PUSTAKA
- Suyono dan Hariyanto.2012.Belajar dan Pembelajaran.Bandung:PT Remaja Rosda Karya.