About

This is default featured slide 1 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 2 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 3 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 4 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

This is default featured slide 5 title

Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.

Friday, December 5, 2014

SCRIPT FILM PENDEK "PAHLAWAN"



PAHLAWAN

Skenario : Toto Prastyo

Dari Cerpen Karangan : Finlan Adhitya Aldan


TITLE

PAHLAWAN


EXT. HALAMAN RUMAH

Dasa

“Jadi, apa pedulimu dengan tempat ini, Nak?”



tangan bergemetar memegang pagar besi setinggi perut di depannya. Matanya layu.


Dasa

 “Ditempa zaman, Nak. Orang-orang berkulit sepertiku lah yang sejatinya memiliki kecintaan paling besar kepada negeri.”


Titik-titik air mulai turun. Satu tetes, dua tetes, tiga tetes mulai membahasi tangan.


Dasa

“Janganlah kau terlalu sering terkena air hujan itu, Nak.”


Dasa menunjuk kulit tangannya yang retak.


Ardi

“Sesekali tak apa lah, Kek. Aku suka hujan.”


Ardi sambil melihat ke langit yang mendung. Menengadahkan tangan untuk merasakan rezeki dari Tuhan. Walaupun sudah dirusak.


Dasa

“Kandungan sulfur di dalamnya sudah berlebihan. Kau tahu, aku hanya butuh terkena hujan ini sebanyak delapan kali untuk mendapatkan retakan ini.”


Dasa kembali menunjukkan retakan di tangannya.


Dasa

“Dulu tanganku tak kasar. Halus. Berotot. Maskulin. Aku dulu seorang…”


Ardi

“Penjelajah. Ini kedelapan kalinya kau bercerita seperti itu, Kek.” (sambil tertawa)


Dasa

“Kau menghitung?” (ikut tertawa)


Ardi

“Semua perkataan Kakek yang diulang, aku hitung.”

“Kek, kenapa namamu Dasa? Kau sudah menceritakan semua hal kecuali hal ini. Apakah namanya terlalu keren untuk diceritakan?”


Ardi menepuk pundak Dasa. Bercanda.


Dasa

“Dasar, anak muda sekarang punya kadar sarkasme yang sangat tinggi. Namaku berubah-ubah setiap satu dasawarsa, Nak. Dulu, ketika umurku menjelang tujuh puluh tahun, namaku Sapta. Ketika umurku beranjak ke delapan puluh tahun, namaku okta.


 Ketika umurku menjelang sembilan puluh tahun, namaku Nona. Aku sering dihina pada sepuluh tahun itu. Jelas, namaku seperti nama seorang wanita yang sangat feminim. Tapi, itu prinsipku. Namaku berubah-ubah untuk mengingat umur, Nak. Selama apa pun kau berpijak di tanah, pada akhirnya kau akan menyatu dengannya.


Sekarang, umurku sudah sembilan puluh sembilan tahun. Oleh karena itu namaku Dasa. Artinya sepuluh. Dan besok aku berulang tahun yang keseratus! Entah nama apa yang aku pakai untuk besok lusa di usiaku yang sudah lebih dari seratus.” (Dasa kembali tertawa)


“I’m ninety nine for a momment. Dying for just another momment and I’m… ah aku lupa lanjutan lagunya. Dulu itu lagu kesukaanku. Five for Fighting, 100 Years. Selalu mengingatkanku pada umur. Tubuhku sudah rusak, Nak. Bahkan, aku bisa berkata bahwa seluruh organ tubuhku sudah memilki penyakit.


Tak terhitung berapa kali aku harus, seharusnya, minum obat dalam satu hari. Tapi, aku sadar, boy, pada akhirnya kita akan mati, bukan? Untuk apa obat-obat itu?”


“Hei, Nak. Kau tahu cita-citaku? Mati pada umurku yang keseratus. Berarti itu besok! Tapi, entahlah. Dengan kondisi tubuhku yang sepertinya masih kuat menopang segala jenis penyakit. Kupikir, aku akan mati di umurku yang keseratus lima. Maksimal keseratus tujuh.”


Ardi

“Berarti kau lahir ketika Krisis Moneter melanda Indonesia. Krisis ekonomi untuk pertama kalinya ya, Kek?”


Dasa

“Ah! Iya, iya! Krisis Moneter! Itu bukan krisis ekonomi pertama untuk Indonesia, Nak. Krisis ekonomi pertama terjadi ketika awal Indonesia merdeka. Ketika yang peduli pada bangsa masih bisa ditemukan di seluruh pojok negeri. Krisis ekonomi itu terjadi karena Indonesia tidak bisa membuat dua fokus antara kesejahteraan ekonomi dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia.”


“Negara ini mulai korup, mulai rusak, ketika aku masih duduk di bangku SMP, Nak. Dulu nama-nama seperti Gayus Tambunan, Anas Urbaningrum, Muhammad Nazaruddin, Andi Mallarangeng, Si Menteri Pemuda danOlahraga, bahkan Akil Mochtar, seorang Ketua MK! Proyek-proyek seperti pusat olahraga Hambalang, wisma atlet SEA Games ke-26, lalu peng-import-an daging sapi, bahkan kitab suci dijadikan celah untuk korupsi! Dari situlah, Nak, dari para penjahat-penjahat itulah, muncul benih-benih baru yang mematikan. Muhammad Nur Zulfiqar, Presiden ke-9 kita. ‘Si Pembunuh’. Kukira tidak ada yang bisa lebih korup daripada dia, Nak. Lima puluh persen, bayangkan! Lima puluh persen dana APBN raib olehnya!”


“Ardi. Namamu Ardi, bukan? Kau tahu, Ardi, kukira negara ini sudah tidak bisa lebih hancur setelah kasus ‘Si Pembunuh’ itu, Nak. Ternyata, setelah puluhan tahun merantau kesana sini, setelah tanah kelahiranku dibeli untuk dijadikan pabrik-pabrik besar, yang menyebabkan hujan mematikan ini, aku sadar bahwa inti permasalahan ini bukanlah para penguasa-penguasa korup itu. Inti hancurnya negara ini karena sudah terlalu banyak orang yang apatis, Nak”


Muka Dasa merah padam. geram


“Globalisasi membawa degradasi moralitas kepada Indonesia. Beginilah jadinya negeri ini. Seluruh aspek kehidupan mengalami keruntuhan. Jaminan kesehatan untuk rakyat tidak mampu dicuri, lahan kosong, sawah, kebun, hutan, bahkan pedesaan di pelosok dijadikan tempat bisnis bagi orang-orang korup, orang-orang serakah. Karena itulah bencana kelaparan melanda negeri ini, khususnya bagi orang-orang yang tidak bisa membeli makanan. Seluruh aspek kehidupan bagi orang-orang miskin tak bisa dipenuhi.”


Tiba-tiba Dasa berhenti berbicara.


Dasa

“TAPI KENAPA JADI KITA YANG DISALAHKAN?! Kitalah yang sekarang dipenjara dalam kota ini! Kota yang didesain pemerintah untuk menampung orang-orang tak mampu, berpenyakit, kumuh, miskin, ‘tak layak hidup’! Sejak Muhammad Nur Zulfiqar diturunkan, bencana penyakit terbesar dalam sejarah Indonesia menyerang.


Apakah kau sudah lahir waktu itu, Nak? SARS, HIV, flu burung, semua penyakit yang sudah pernah menjadi bencana untuk negeri ini kembali menyerang dalam jumlah yang tidak terkira. Bersamaan pula! Orang-orang miskin yang tak memiliki uang untuk melakukan pengobatan, digiring menuju sebuah kota, bahkan bisa kubilang negara kecil yang dikelilingi tembok tinggi – yang membutuhkan dana triliunan rupiah, melewati empat masa jabatan presiden, dibuat untuk mencegah penyakit yang kita bawa tidak menyebar kemana-mana. Aku sangat ingat hari itu, Nak.”


Dasa

“Aku bersama jutaan orang lainnya digiring seperti hewan ternak ke dalam sini. Anak kecil, remaja sepertimu, orang-orang paruh baya, hingga orang yang sudah tidak kuat untuk mengangkat kakinya, kalau sudah terjangkit penyakit dan tak bisa bayar pengobatan, digiring ke sini. Ini namanya genosida untuk orang-orang tak mampu! Aku masih ingat kata-kata Almira Maulana, Presiden kesepuluh kita, Si Lugu, Si Bodoh. ‘Mereka sudah tidak memiliki harapan. Kami berusaha melakukan tindakan yang paling benar.’ katanya. Negeri ini lah yang tidak memiliki harapan!”


“Mungkin kalau ada novel berjudul Indonesia Aftermath yang menceritakan kondisi Indonesia sekarang, di titik klimaks kehancurannya, novel itu akan menjadi novel ber-genre distopia terbaik di dunia, bahkan melangkahi Brave New World karangan Aldous Huxley.”


Ardi

“Aku tidak tahu pengetahuanmu begitu luas, Kek.”


Ardi menepuk pelipis, kagum.

Dasa

“Kau pasti tidak percaya kalau aku dulu tidak lulus SD. Pengalaman adalah guru terbaik, Nak. Aku sudah pernah mengunjungi seluruh sudut negeri ini. Bahkan, tanah tak terjamah di kawasan Papua pun sudah aku taklukan, Ardi.”


Ganti Dasa yang menepuk pundak Ardi.

Tiba-tiba muka Dasa terlihat sangat berat, matanya berkaca-kaca.


Dasa

“Kalau saja dahulu banyak anak muda sepertimu. Peduli dengan bangsa, bukan begitu?”

Dasa menatap Ardi dengan penuh harap agar aku menjawab seperti apa yang dia inginkan.


Ardi

“Kalau aku tidak cinta pada negeri ini, aku tidak mungkin bersauh ke dalam tembok tinggi ini.”


Ardi berusaha menjawab dengan apa yang sepertinya Dasa harapkan.


Dasa

“Kau seorang novelis sukses di luar sana, bukan?”


Ardi

“Jurnalis, Kek. Bukan novelis.”

Ardi tertawa.


Dasa

“Ah! Pemburu berita! Sangat banyak berita yang bisa kau buru di dalam tembok ini, Nak. Bukan berita bahagia tentunya.”


Dasa menggeleng-gelengkan kepalanya. Kembali tertawa. Namun, aku melihat air keluar dari matanya. Dasa cepat-cepat mengusapnya.


Ardi

“Kau sudah pernah berkata seperti itu ketika kita pertama kali bertemu, Kek.”

Ardi ikut tertawa kembali.


Ardi

“Sama seperti Kakek, aku juga sudah muak dengan semua hal di luar tembok ini. Ketika orang-orang di luar sana menganggap bahwa di dalam tembok ini lah yang mereka sebut dengan distopia, justru menurutku, di luar sanalah yang seharusnya disebut distopia.


Negeri yang tak pernah diinginkan oleh siapa pun. Lima tahun ada di dalam sini, kabur dari kehidupan mewah di luar sana, aku tidak pernah melihat satu pun kejahatan di sini. Mungkin satu, ketika Si Jabrig mencoba mencuri sendal jepitku.”

mereka berdua kembali tertawa. Sangat menyenangkan ketika melihat Dasa tertawa.


Ardi

“Aku justru menemukan kedamaian di dalam tembok ini, Kek.”

“Walaupun kumuh dan bau?”

“Walaupun kumuh dan bau. Itu jawaban untuk pertanyaan kakek di awal pembicaraan.”


Dasa

“Kau naif, Nak. Di sini tidak ada kejahatan karena taraf kehidupan semua orang sama saja! Siapa yang mau mencuri barang orang yang sama miskinnya dengan dia?” tawa Dasa makin keras.

Tiba-tiba Dasa memberikan senyuman, bukan senyuman biasa, senyuman penuh harapan kepada Ardi.


Dasa

“Ardi, orang-orang sepertimu adalah orang-orang yang diharapakan bangsa. Orang-orang yang diharapkan dapat membawa kembali ‘kedamaian’ yang kau bicarakan tadi ke seluruh pelosok negeri.”


“Mengubah distopia ini menjadi utopia.”

Mata layunya berbinar, tangannya menggenggam erat tangan Ardi, walaupun gemetaran.

Bruk. Dasa Terjatuh.

Ardi

“Kakek!”

FADE TO BLACK


EXT. PEMAKAMAN


Keesokan harinya, tanggal 1 Januari 2098, tepat ketika umurnya seratus tahun,

Dasa meninggal karena kompilasi penyakit yang dideritanya.


FADE TO BLACK

TEKS

Di dalam sebuah distopia, pahlawan bukanlah seseorang yang mengangakat senjata melawan penjajah. Bukan seseorang yang mendapat jabatan; bintang satu, dua, tiga, empat, lima, atau bintang apa pun itu. Bukan pula orang-orang yang berteriak di depan orang banyak, berbicara tentang moral.

Di dalam sebuah distopia, pahlawan adalah seseorang yang masih peduli untuk berbagi. Walaupun hanya sekedar berbagi pengalaman


CREDIT TITLE


SCRIPT FILM PENDEK "PATRIOT KECIL"




PATRIOT KECIL
Skenario : Toto Prastyo
Dari Cerpen Karangan : Angela Purba S

TITLE
PATRIOT KECIL

EXT. DIDALAM RUMAH

Rima melihat adiknya yang termenung di dekat jendela. Mengentikkan jarinya dari tadi.
Sinar matahari yang sudah mulai kelihatan menyinari kepalanya.
Muka sang adik tampak sedih. Rima segan bertanya kepada adiknya apa yang terjadi, karena pasti itu hanya membuat adiknya tambah badmood. Tapi, Rima tetap penasaran kenapa adiknya dari tadi hanya disitu. Rima tetap mengurungkan niatnya.
Rima melangkah 4 kali. Jaraknya sama adiknya masih terlalu jauh. Untuk di senggol pun tidak sampai.
Rima maju 4 langkah. Sekarang, jaraknya sama adiknya sudah bisa dibilang dekat. Rima menundukkan kepala melihat sang adik duduk manis

PATRIOT KECIL

Skenario : Toto Prastyo

Dari Cerpen Karangan : Angela Purba S


TITLE

PATRIOT KECIL


EXT. DIDALAM RUMAH


Rima melihat adiknya yang termenung di dekat jendela. Mengentikkan jarinya dari tadi.

Sinar matahari yang sudah mulai kelihatan menyinari kepalanya.

Muka sang adik tampak sedih. Rima segan bertanya kepada adiknya apa yang terjadi, karena pasti itu hanya membuat adiknya tambah badmood. Tapi, Rima tetap penasaran kenapa adiknya dari tadi hanya disitu. Rima tetap mengurungkan niatnya.

Rima melangkah 4 kali. Jaraknya sama adiknya masih terlalu jauh. Untuk di senggol pun tidak sampai.

Rima maju 4 langkah. Sekarang, jaraknya sama adiknya sudah bisa dibilang dekat. Rima menundukkan kepala melihat sang adik duduk manis di depan jendela.






Rima

“Roni, kamu ngapain? Kok dari tadi diam saja? Ada masalah ya di sekolah?”


Roni

“Nggak sih…” jawab Roni. Suaranya masih terdengar halus.


Rima “Terus?” tanya Rima lagi.


Roni memandang Rima, kakaknya. Dari wajah Roni keliahatan bahwa Roni sangat jenuh sekarang.


Roni “Kak, aku ingin jadi Patriot.”


Rima tersenyum. Dia melihat adiknya yang polos itu.

Dia mengelus kepala adiknya. Rima memandang adiknya penuh.


Rima “Jadi? Apa yang harus dilakukan sama Patriot kecil kayak kamu?”


Roni (Roni berpikir sejenak) “Perang?”


Jawaban yang didapat Rima membuat Rima tertawa. Kepolosan sang adik memang tiada duanya.

Rima mengambil 1 kursi yang terletak di pojok dan menaruhnya di samping Roni. Rima merangkul adiknya yang masih memandang pemandangan di luar.


Rima “Perang itu nggak wajib, Ron.” Jawab Rima. “Yang kamu perlu lakukan hanya membuat Negara mu bangga.”


Roni Roni bertanya lagi. “Gimana caranya? Mereka–mereka aja nggak kenal sama aku, kak.”


Rima (Rima menjawabnya dengan senyuman) “Nah, buat mereka kenal sama kamu. Tau kamu. Jangan buat orang bertanya siapa kamu. Tapi buat orang menjawab itu kamu. Semua karya tuh butuh perjuangan.”


Roni Roni menatap sang kakak. “Terus, Roni harus apa?”


Rima “Roni harus tunjukkan kalau kamu bukan hanya anak biasa dari desa kecil. Tapi anak luar biasa berasal dari desa kecil.”


Roni

“Roni tetap nggak ngerti.” Roni melihat kakaknya yang juga sedang menatapnya.


Rima “Roni artinya harus bekerja keras demi membuat Negara kita bangga. Mungkin sekarang emang belum banyak yang tau kamu. Tapi kalau kamu punya niat membuat orang kenal sama kamu, semua itu akan terjadi kok. Lakukan hal positif dan terhormat, itu yang membuat kamu menjadi patriot kecil. Sekarang, ngerti?”


Roni mengangguk paham. Ia tersenyum lebar. Berdiri dari tempat duduknya.


Roni “OKE!!” (teriak Roni semangat)


Roni berlari keluar rumah. Membentangkan tangannya yang lebar berasa sedang terbang.


EXT. HALAMAN RUMAH


Menutup matanya dan berkata dalam hatinya…



Roni “aku lah si Patriot Kecil.”(Dalam hati)


CREDIT TITLE



di depan jendela.







Rima
“Roni, kamu ngapain? Kok dari tadi diam saja? Ada masalah ya di sekolah?” 

Roni
“Nggak sih…” jawab Roni. Suaranya masih terdengar halus.

Rima
“Terus?” tanya Rima lagi.

Roni memandang Rima, kakaknya. Dari wajah Roni keliahatan bahwa Roni sangat jenuh sekarang.

Roni
“Kak, aku ingin jadi Patriot.”

Rima tersenyum. Dia melihat adiknya yang polos itu.
Dia mengelus kepala adiknya. Rima memandang adiknya penuh.

Rima
“Jadi? Apa yang harus dilakukan sama Patriot kecil kayak kamu?”

Roni
(Roni berpikir sejenak) “Perang?”

Jawaban yang didapat Rima membuat Rima tertawa. Kepolosan sang adik memang tiada duanya.
Rima mengambil 1 kursi yang terletak di pojok dan menaruhnya di samping Roni. Rima merangkul adiknya yang masih memandang pemandangan di luar.

Rima
“Perang itu nggak wajib, Ron.” Jawab Rima. “Yang kamu perlu lakukan hanya membuat Negara mu bangga.”

Roni
Roni bertanya lagi. “Gimana caranya? Mereka–mereka aja nggak kenal sama aku, kak.”

Rima
(Rima menjawabnya dengan senyuman) “Nah, buat mereka kenal sama kamu. Tau kamu. Jangan buat orang bertanya siapa kamu. Tapi buat orang menjawab itu kamu. Semua karya tuh butuh perjuangan.”

Roni
Roni menatap sang kakak. “Terus, Roni harus apa?”

Rima
“Roni harus tunjukkan kalau kamu bukan hanya anak biasa dari desa kecil. Tapi anak luar biasa berasal dari desa kecil.”

Roni
“Roni tetap nggak ngerti.” Roni melihat kakaknya yang juga sedang menatapnya.

Rima
“Roni artinya harus bekerja keras demi membuat Negara kita bangga. Mungkin sekarang emang belum banyak yang tau kamu. Tapi kalau kamu punya niat membuat orang kenal sama kamu, semua itu akan terjadi kok. Lakukan hal positif dan terhormat, itu yang membuat kamu menjadi patriot kecil. Sekarang, ngerti?”

Roni mengangguk paham. Ia tersenyum lebar. Berdiri dari tempat duduknya.

Roni
“OKE!!” (teriak Roni semangat)

Roni berlari keluar rumah. Membentangkan tangannya yang lebar berasa sedang terbang.

EXT. HALAMAN RUMAH

Menutup matanya dan berkata dalam hatinya…
 
Roni
“aku lah si Patriot Kecil.”(Dalam hati)

CREDIT TITLE


SKRIP FILM PENDEK " VILLA "



VILLA
Skenario : Toto Prastyo
Dari Cerpen Karangan: Ariel Kristant

EXT. HALAMAN SEKOLAH

Sekitar 50 Siswa sedang mendapatkan pengarahan dari seorang guru. Mita menggandeng tangan Rio dengan erat dan tampak mesra. Rio memperhatikan Andini dan sesekali mencari-cari perhatian pada Mita.



Pak Joko
Sekarang anak-anak silahkan naik ke dalam bis.




Siswa naik ke dalam bus
TITLE
VILLA

INT. DALAM BUS

Andini menyuruh Ariel untuk geser agar dia bisa berada didekat jendela.

Andini
Ril, jangan pindah ya, gua mau duduk ama loe, ok (Sambil mengedipkan mata)

Ariel menganggukkan kepala. RIO terlihat geram pada Ariel.
Bus Berjalan
Andini memakai headshet dan menikmati musik sambil tersenyum. Aril memperhatikan Andini.
Sekitar jam 7 malam tampak semua penumpang terlelap. Aril menatap Andini dan tiba-tiba Ariel mencopot jaketnya untuk di selimutkan ke Andini. Dan Andini merubah posisi sandarannya ke pundak Ariel.
Bus berhenti
Ariel membangunkan Andini.
Ariel
Andini, Andini...Bangun sudah sampai.
Andini terbangun
Andini
Terimakasih

Andini menggandeng tangan Ariel dan mengajak untuk turun.

EXT. HALAMAN VILLA MEWAH

Tampak sebuah Villa Mewah namun sangat menyeramkan.
Andini semakin erat menggandeng tangan Ariel.

Pak Joko
"Ayo anak anak sekarang kita semua masuk kedalam Villa"
INT. DIDALAM KAMAR VILLA 

HP Ariel berdering ada sms dari Andini
 (SMS)
“Ril, temenin aku dong takut nih”
“Kan ada Rio ya tho”
“kok Rio terus sih”
“nah terus, kenapa harus aku?”
“ndak mau, ya udah”

Ariel menyusul teman teman sekamarnya, namun terhenti saat mendengar gemericik air sower dari kamar mandi dan segera Ariel membangunkan teman-temannya secara perlahan. Dan mereka mencoba untuk memeriksa suara itu, namun belum sampai memeriksa suara itu semakin keras dan diiringi suara ketukan dari dalam kamar mandi. Maka semuanya tidur di ruang tamu. Hingga semua tertidur pulas. Hingga akhirnya sudah pagi. Dan Ariel tiba tiba telah berpindah posisi tertidur di dapur. Lengkap dengan pisau dan garpu makan yang bersemayam di dekat kepala Ariel.

Andini
“Ril, bangun. Cepet…”

Ariel
“ahh, lima menit lagi”

Andini
“lho, cepet bangun kok”

Ariel
“haduh, diem deh”

Andini menyiram satu ember air ke Ariel
Ariel
“eh, Andini. Tega bener nyiram aku..”

Andini
“bukannya tega Ril, tapi lihat loe tidur dimana?”

Ariel
“Astaga…”

Andini
“cepet gih turun”

Ariel
“iiyyyaaa”

Akhirnya Ariel Turun sambil terheran-heran. Ariel berjalan ke ruang tamu dan melihat yang lain masih tertidur disana. Andini berjalan di sebelah Ariel dan kini menggandengnya. 

Ariel
“ngapain sih anak ini” (dalam hati)

Andini
“Ril, loe kok diem aja sih?”

Ariel
“abisnya dari kemaren sikapmu aneh banget sama aku.”

Andini
“aneh gimana? gua biasa aja tuh.”

Ariel
“aneh banget, kenapa kamu maunya duduk sama aku? Dan sekarang nemenin aku dan bukan yang lain?”

Andini
“hmmm… Ril, mau tau alasannya?”

Ariel
“ya mau, apa alasanmu”

Andini
“hmmmm, loe mandi dulu tapi” wajah mengejek.

Ariel segera bergegas masuk ke kamar, namun saat mau membuka pintu Ariel menjadi gugup dan takut, karena kejadian semalam.

Andini
“he, cepet loe masuk” membentak

Ariel
“aku takut Ni, semalem ada kejadian aneh di dalam”

Andini
“hmm, Ril, aku juga ngalamin hal yang aneh juga semalam”

Ariel
“lho iya tha?”

Andini
“iya, loe mau tau nda?”

Ariel
“iya apa? Ceritain ke aku”

Andini
“hmmm… ini aneh banget Ril, gua kangen loe. Hahahaha”

Ariel
“lhe, ini serius yoo. Aku nda jadi mandi deh.”

Andini
“berarti gua ga jadi ngasih tau alasanya dong.”

Ariel
“ya jangan gitu lha..”

Andini
“eh, ngobrol di teras yuk, mumpung yang lain belum bangun”

Belum sempat menjawab Andini sudah menarik tangan Ariel dan kini mereka berdua menuju teras villa.

EXT. TERAS VILLA

Teras itu menghadap ke arah gunung. Jadi seolah-olah villa berhadapan dengan gunung langsung. Udara Dingin sedikit demi sedikit menghipnotis. Mereka berdua duduk di kursi teras. Lagi lagi Andini menggenggam tangan Ariel. Kali ini Ariel balas genggamannya, Andini menatap Ariel dan.
Ariel
“Din, kamu sudah sering gini ya sama cowok?”

Andini
“gini, maksud loe?”

Ariel
“ya berduaan, terus pegangan tangan, terus…”

Andini
“ga pernah kok” sahut Ariel cepat

Ariel
“nah terus kok sama aku kamu gini”

Andini
“hmm, gua suka loe Ril”

Ariel
“hah?”

Andini
“iya, gua suka. Loe yang terlalu lama diem.”

Andini
“eh, lihat tuh, mataharinya indah banget ya” (sambil  menunjuk matahari mencoba mengalihkan perhatian)

Andini tak menghiraukannya dan kini dia bersandar di pundak Ariel. Ariel belai rambut Andini dan sesekali Andini menatap Mata Ariel. Dan tiba tiba datang Rio 

Rio
“woi, enak banget ya pacaran di sini” (ledek Rio dengan wajah cemburunya)

Andini
“akh diem loe.” dengan sewotnya

Tiba tiba datang Mita dari belakang
Mita
“Rio, kamu kok di sini cayang..” 

Mita datang dan memeluk Rio dari belakang

Andini
“Tuh ada Mita, sana pacaran sendiri, jangan ganggu gua.” Menyeleletuk 

Mita menarik tangan Rio sedangkan Rio tetap ingin bertahan di sana. Tapi akhirnya, mereka berdua berlalu.
Andini
“Riel, satu hal lagi yang harus loe ngerti”

Ariel
“Apa Din?”’

Andini
“hmm, loe bau. belum mandi. Hehehe”

Ariel secara refleks memeluk Andini dan mencari hidungnya, berusaha untuk memencetnya. Andini cuman ketawa waktu di pencet hidungnya. Suara Pintu

“BBRRAAAKKK”

Andini
“eh, apa itu Ril?”

Ariel
“Pintunya ketutup sendiri”

Andini
“eh, padahal nggak ada angin ya?”

Ariel
“coba aku periksa.”

diiringi langkah mengecek pintu yang kini sudah terbuka kembali.

Ariel
“wah, kok aneh banget ya” Gumam Ariel dalam hati

Andini
“Ril, ayo makan”

Ariel
“ok Din, kamu masuk dulu deh, aku ntar nyusul”

Andini
“ga mau, maunya sama kamu”

Ariel
“ih, manja bener”

INT. DIDALAM VILLA

Ariel dan Andini masuk dan mendapati semua anak yang lain telah menikmati masakan yang telah dimasak Bu Nuri. Andini dan Ariel sudah mengambil piring dan hendak mengambil lauk.
Andini
“Ril, gua nda suka lauknya. Kita ngemie aja yuk” sambil tersenyum

Ariel
“ah, kamu ini ada-ada aja.”

Andini
“gak papalah, ya.. gua tiba-tiba ngidam mie”

Ariel
“ihh, ngidam, mang hamil kamu? Haha”

Andini
“kan kamu bapaknya? Wwkwkwkwk”

Ariel
“ya udah, masak mie yuk”

Jam menunjukan pukul dua siang. Namun kali ini lebih aneh lagi, karena semua anak menjadi pendiam. Terutama si Rio yang biasanya merupakan trouble maker, kini menjadi anak yang diam dan hanya duduk menonton tivi di ruang tamu. Begitu juga dengan para guru, kini sikapnya aneh.

Andini
“Ril, kok semuanya nyeremin ya.”

Ariel
“iya Din, takut aku jaDinya.”

Andini
“Ril, pulang yuk gua jadi takut banget.”

Ariel
“iya, tapi yang lain gimana?”

Andini
“biarin aja deh”

Ariel
“ya udah ambil tasmu, aku ambil tasku. Kita pergi”  dengan nada Tegas

Andini
“ok Ril”

Saat Ariel dan Andini sudah bersiap membuka pintu dan hendak pergi, tiba-tiba semuanya berdiri dan pergi menuju mereka berdua, mata dari tiap-tiap orang itu menjadi putih dan diiringi dengan tawa mengerikan. 

Andini
“pintunya gak bisa di buka. Aduh”

Mendapati Bu Nuri telah berubah menjadi seram

Bu Nuri 
 “kalian tak bisa keluar dari sini. Kalian adalah Tumbalku.” 

Ariel
“si.. si.. siapa itu?” 

Bu Nuri hanya tertawa. kini penampilannya acak-acakan hendak melempar pisau ke arah Ariel. Begitu pula dengan siswa-siswa yang saat itu seperti zombie. Mereka semua semakin mendekat. 

Ariel dan Andini semakin terpojok. Ariel melihat pintu belakang terbuka. Ariel mengambil tasnya dan menggenggam tangan Andini. 

Mereka terobos barisan kawanan kawan yang kini menjadi makhluk aneh. Namun kali ini Bu Nuri yang mendekat dan membawa seperti dupa, lalu menaburkannya ke depan muka Andini. Lalu Andini seketika itu tertidur.

Ariel memukul Bu Nuri dengan tasnya. Namun hal itu tak membuatnya terluka. Malah Andini yang dibawanya pergi ke lantai dua.

Ariel yang menyadari bahwa kini posisinya diambang maut mencoba melawan sekuat tenaga. Walau ada yang memegang kakinya, mencekikku. Aku tak peduli. Ariel hanya melawan dan mencoba menerobos untuk menyelamatkan Andini.

Kini Ariel sudah berada di tangga hendak naik. Namun pada saat Ariel ada di anak tangga yang ke 5 dari bawah, salah satu dari mereka menyeret Ariel hingga terjatuh. Ariel merasakan punggungnya sakit. Dan mereka mulai mencoba membunuh Ariel dengan tangan kosong.

Ariel mencoba bangun, namun tak bisa. Sejenak Ariel membiarkan mereka membunuhnya, namun Ariel mendengar Andini berteriak lalu menjerit. Ariel kali ini berusaha untuk bangkit dan kali ini Ariel bisa bangun. Ariel naiki tangga itu dan aku menemukan bahwa Andini sedang disiksa oleh Bu Nuri yang kini terlihat lebih muda dan cantik sekali.

Andini
“Riiilll, tolong gua…”

Ariel Segera menuju Andini yang terikat di kursi, Ariel mencoba melepas ikatannya namun Bu Nuri yang membawa benda seperti cambuk itu meradang dan mencambuk Ariel. Ariel terjatuh saat Ariel berada di depan Andini. Tubuh Ariel terhempas layaknya memeluknya.

Andini
“Ril, tolong gua. Gua takut banget. Gua sakit” (berbisik)
Ariel
“Din, aku akan membawamu keluar dari sini” dengan tertatih
Ariel
“AAAKKHHH…” aku dicambuknya lagi
Andini
“Rill loe gak papa?”

Ariel tak menjawab pertanyaan Andini. Karena matanya tertuju pada kalung pisau lipat pada leher Andini. Ariel meraihnya dan seketika itu Ariel beralih dan menghujamkannya pada pangkal leher Bu nuri dan bu Nuri seketika itu reflek mencekik Ariel. Kini Ariel mencabut pisau lipat itu dan menusukkannya pada perutnya. Ariel menyayat perut Bu Nuri lalu darah merah segar mengucur deras membasahi pisau dan tangan Ariel. Namun bogem mentah mengarah pada pelipis Ariel yang membuatnya terjatuh.

Perempuan yang semula terlihat cantik itu kini menjadi sangat menyeramkan dengan darah di sekujur tubuhnya. Bu Nuri segera mencabut pisau lipat dari perutnya dan berjalan ke arah Ariel. Semakin dekat, dan kini tangannya telah bersiap untuk menghujam. Ariel bangkit dan menangkap tangannya dan berusaha untuk merebut pisau itu. Mereka saling mendorong, sesekali Ariel melihat Andini menutup matanya. 

Ariel mendorong Bu Nuri dan BU Nuri terpelanting ke jendela dan jatuh dari lantai dua. Ariel menghampiri jendela itu dan melihat ke bawah, tubuhnya tertancap pada ujung pagar yang runcin. Ujung pagar itu menembus tubuhnya. Banyak darah yang tercecer di sana.
Segera Ariel membebaskan Andini dan mengajaknya untuk pulang. 

Ariel
“Kita Pulang sekarang”
Ariel dan Andini berjalan keluar dan tak sengaja melewati dapur yang dan dengan iseng melihat isinya. Ternyata isinya makanan bercampur dengan binatang-binatang yang menjijikan.

Ariel dan Andini melanjutkan perjalanan kami, namun saat melewati ruang tamu, semua peserta yang ada telah tewas. Dari mulutnya keluar busa seperti keracunan. Andini menarik Ariel keluar dari villa itu. Ariel dan Andini keluar dan segera mencari tumpangan untuk kembali ke kota asal.

EXT. JALAN RAYA
Andini
“Ril, loe sayang gua ya?”
Ariel
“kenapa kok kamu tanya gitu?”
Andini
“habisnya kamu tadi nyelamatin aku” dengan diiringi senyum
Ariel
“hmm, mungkin aja” dengan nada mengejek
Andini
“Ril loe gak nembak gue?”
Ariel
“halah, walaupun ndak aku tembak, kamu kan tau kalo aku sayang kamu”
Andini
“ahh, loe ga romantis” sambil memeluk Ariel
Ariel dan Andini pulang dengan menumpang mobil salah seorang penduduk di sana. 

EXT. DIDALAM MOBIL

menceritakan apa yang terjadi.
Sopir
“Iya mbak di dalam villa itu memang sering terjadi hal-hal yang menyeramkan,
Saya juga salah satu orang yang juga berhasil lari dari villa itu.”
CREDIT TILTLE